Titisan Cleopatra

5 Oct 2010



Cairo membara. Semburan cahaya mentarinya seakan membakar sekujur tubuhku. Deru-deru mesin roda empat pun tak henti-hentinya meraung-raung disepanjang jalan. Kemacetan pun terjadi dimana-mana. Kota Cairo seakan-akan berada di atas tungkuan api yang bergejolak. Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur sambil menikmati sejuknya udara AC dikamarku.

“Eh udah pulang San”. Suara Bang saiful menyadarkanku dari lamunanku.

Kulihat bang Saiful berdiri dibalik daun pintu kamarku sambil melemparkan sebuah senyum yang penuh bijak.

“Alhamdulillah bang, semuanya berjalan lancar “. Jawabku singkat.

Walaupun sebenarnya, kebanyakan mahasiswa asing yang belajar di Al Azhar  sulit untuk memahami penjelasan dari para dosen. Di karenakan mereka menggunakan bahasa ammiyah ( Bahasa pasaran atau gaul ) dalam menerankan pelajarannya. Ya, sebuah  fenomena yang sulit di hilangkan. Dengan alasan bahwa banyak di antara mahasiswa pribumi (Mesir) yang tidak paham dengan bahasa fushah (bahasa arab asli dan baku).


“Terus Usman mana ?”. Kembali bang Saiful bertanya
“Katanya sih  pengen ke Masjid Al-Azhar menyetor hafalannya”.  Jawabku.
“Eh, di kulkas ada ashir ashab tuh, tadi sewaktu pulang dari kuliah ana nyempetin beli ashir”. Kata bang Usman sambil tersenyum.
"Wah…abang tau juga kesukaan saya…hehe", Tawaku sambil bergurau.





***

 Begitulah keseharian kami ketika pulang dari kuliah, Saya, Sifullah, dan Usman adalah tiga sahabat yang sangat akrab bahkan kami bertiga sudah bagaikan saudara sendiri. Saifullah adalah yang tertua diantara kami bertiga. Bang Saiful sapaan akrab dia telah kami anggap sebagai kakak di Flat tempat  tinggal kami. Dialah yang selalu memberi nasehat dan menjadi ladang curhat kami jika mendapat suatu masalah.


Saat ini dia sementara menempuh tahmidi  satunya ( Diploma  untuk jenjang s2) di Al Azhar, sedangkan saya dan Usman baru tingkat tiga di fakultas Syari'ah Walqanun ( Hukum islam ). Kami tinggal di sebuah Flat di kawasan Hadayek el-Qubbah, tempat yang jarang dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Asia khususnya Indonesia. Kawasan ini sengaja menjadi pilihan kami, karena menurutku sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar yang terletak di daerah El-Darrasa. Berbeda dengan Nasr City - H10, salah satu tempat yang banyak di huni oleh mahasiswa dan para pelajar asing yang datang merantau di Negeri Musa. Terutama pelajar yang berasal dari Asia tak terkecuali  yang berasal dari tanah air. Dan satu faktor  juga yang menjadi alasan kami memilih Hadayek el Qubbah adalah sikap penduduk Mesir yang  ramah dan senang terhadap mahasiswa yang berasal dari Indonesia.

"Hasan…Hasan…!", suara itu membangunkan aku dari setengah tidurku.
"Ada telepon tuh dari Salma", ternyata suara bang Saiful dari ruang tamu.
"Telepon dari siapa bang", jawabku dari balik kamar.
"Telepon dari Salma". Jawab Bang saiful mengulang perkataannya.


***
Salma, gadis Mesir pertama yang kukenal semenjak aku pindah di daerah ini. Aku mengenal dia sejak aku masih semester pertama. Seorang gadis Mesir yang ramah, berwibawa, cantik dan memiliki perilaku sopan  santun. Dan ia sangat berbeda dengan gadis-gadis Mesir pada umumnya. Titisan Cleopatra, mungkin itulah julukan yang pantas untuknya.  Gadis yang  mewarisi kecantikan ratu Cleopatra, Ratu kecantikan Mesir yang merupakan simbol kecantikan wanita-wanita Mesir saat ini. Saya bergegas keruang tamu untuk menerima telpon dari Salma.

"Zayyak ya Hasan, Kunta Feen ( Hasan apa kabar, kamu kemana aja ) ?“, suara merdu nan lembut itu terdengar dari balik gagang telpon, membuyarkan semua rasa kantuk yang dari tadi menghinggapi diriku.

"Ma'lesy ya Salma, kuntu naa'im asyan ta'ban minal kulliyah (maaf  Salma, tadi saya lagi tidur soalnya cape banget neh dari kuliah ) ”. Jawabku dengan suara lirih.

"Ada apa Salma, ada yang bisa aku bantu", Jawabku kepada salma.

Sejenak Salma terdiam tidak menjawab pertanyaanku.

"Kamu sibuk nggak sebentar malam", tanyanya lagi kepadaku.

"Ya nggak juga sih, mang kenapa"?, tanyaku balik kepadanya.

"Gini, sebentar malam saya pengen mengundang kamu dan teman-teman kamu makan malam di rumah saya", ucap Salma dari balik telpon.

Aku  kuterdiam  sambil berpikir.  Sebenarnya hal seperti ini bukan kali pertamanya Salma mengundangku  dan teman-teman untuk makan malam bersama keluarganya. Aku sendiri  terkadang merasa tidak enak terhadap keluarganya Salma. Karena sambutan meraka yang terlalu special untuk kami. Meraka selalu menyuguhkan makanan  yang mewah dan khas Mesir.

               
"Yaa…kalau ada waktu Insyaallah aku datang". Jawabku kepada Salma.

"Nggak pake alasan pokoknya, kamu harus datang kalau nggak datang ana musy aiz kallimak tani (saya tidak akan bicara dengan kamu lagi)", itulah kata-kata yang selalu di lontarkannya jika aku menolak undangannya. Seakan menjadi senjata pamungkasnya yang ia gunakan untuk mengancamku ketika aku menolak ajakannya.


Jarum jam telah menunjukkan pukul 19.30 waktu kairo, itu pertanda bahwa azan magrib sebentar lagi bekumandang.

“Bang…! Usman belum datang ya? “ tanyaku pada bang Saiful.

“Iya, barusan dia menelpon katanya malam ini dia menginap dirumah temennya yang tinggal di Husen, katanya sih ada pertemuan almamaternya”. Jawab bang Saiful.

Aku  hanya mengangguk-ngangguk, sambil berjalan masuk ke kamar.

“Bang,…ntar habis shalat magrib, kita kerumah salma tadi dapat undangan dari dia untuk makan malam bareng sama keluarganya”, kataku dari balik kamar.

“Ok, berarti makan firakh (ayam bakar)  lagi dong malam ini”, jawab bang Saiful dengan suara candanya.

Memang ini bukanlah pertama kalinya kami diundang makan oleh keluarga Salma. Dan setiap kali diundang, keluarga Salma selalu menyediakan ayam bakar untuk kami. Kata mereka, itu sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Mesir ketika melayani tamunya, apalagi kalau tamu-tamunya itu adalah orang asing.


***
Sore itu, panorama senja kota Cairo mulai nampak di iringi dengan tiupan angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuhku. Ada rasa hangat dan kesejukan yang aku rasakan terlebih lagi setelah seharian penuh melukakun berbagai aktivitas sehari-hariku. Di jalan-jalan terlihat anak-anak Mesir berlarian sambil kejar-kejaran penuh keceriaan, seakan tidak ada beban dalam kehidupan mereka. Aku tersenyum memandangi kebahagiaan mereka, membuat masa-masa kecilku kembali memutar rasa rinduku akan kebahagiaan seperti mereka.

“Hasan…ada telpon lagi tuh, dari Salma” suara bang Saiful mengagetkanku dari lamunan. Aku bergegas keruang tamu untuk menerima telpon itu.

“Zayyak ya Hasan…amileeh  (gimana kabar km Hasan, lagi ngapain ?). suara lembut itu kembali menyapaku dengan sapaan khasnya.

Makanya tak salah kalau julukan untuk dia sebagai Titisan Cleopatra adalah julukan yang pantas baginya. Wajahnya yang cantik dengan hidung yang mancung di padu dengan kulit yang putih bersih serta suara yang merdu, seakan-akan mengembalikan Mesir di zaman Ratu Cleopatra. Ratu kecantikan Mesir  yang mana kecantikannya pernah digambarkan oleh seorang sastrawan barat bahwa “jikalau saja hidung Ratu Cleopatra bengkok sedikit, maka rusaklah dunia ini”.

“Gimana kabar kamu Hasan, lagi ngapain”? Tanya Salma kepadaku.

“Alhamdulillah baik, ada yang bisa saya Bantu”, tanyaku kembali kepadanya.

“Nggak kok, pengen nelpon aja dan tau kabarnya Hasan”, jawab salma kembali.

 Memang akhir-akhir ini Salma hampir tiap malam menelpon, terkadang pembicaraannya cuman menanyakan kabar, terkadang juga cuman ngobrol basa-basi.


***
Siang itu, seperti biasanya sepulang dari kuliah saya langsung kedapur untuk mengambil minuman dingin kesukaanku di kulkas. Lalu kuambil segelas ashir ashab untuk menumpahkan segala kepenatanku, setelah seharian bergelut dengan pelajaran dikuliah. Aku menemuai bang Saiful yang lagi konsen di depan laptopnya.

“Lagi kerja apa bang…”, sapaku dari balik pintu kamarnya.

“Ini lagi nulis-nulis catatan buat thesisku nanti”, jawab bang Saiful.

“Oh…iya San…tadi Salma berkali-kali nelpon kesini, nyariin kamu”, kata bang Saiful.

“kata dia, kalo kamu sudah dirumah kamu disuruh nelpon kedia” kata bang Saiful lagi.

“kayaknya dia itu ada rasa sama kamu San”, timpal si Usman dari kamar sebelah.

“eheemmm cieeee…ada yang jatuh cinta nih” kembali Usman mengoceh dari kamar sebelah.

Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Usman.

“iya juga sih bang, aku juga udah ngerasa kayak gitu makanya aku juga udah mulai  jaga jarak dengannya. Yaa, abang kan tau walaupun aku sangat mengagumi wanita-wanita Mesir tapi aku nggak pernah punya niat mau nikah sama orang mesir”, terangku kepada bang Saiful.

 Bang saiful hanya mengangguk mendengar penuturanku sambil tersenyum ke arahku.

“ya udah, telpon aja sana, ntar dia marah-marah lagi, ana yang kena batunya dikira nggak nyampein pesan”, perintah bang Saiful.

“iya deh bang”, jawabku. Sambil berjalan menuju ruang tamu dimana telpon berada.

“halo…Salma maugud (halo…Salmanya ada?), kataku.

“ayuwa, ana Salma (iya, saya Salma)”, jawabnya.

“kata bang Saiful, tadi Salam nelpon kerumah nyariin saya, ada apa ya ? ada yang bisa saya Bantu ? “. Tanyaku kepadanya.

Salma sejenak terdiam tidak menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba saya mendengar isakan tangis dari balik telpon.

“kamu nggak apa-apa kan Salma ? “, tanyaku penasaran.

Hiks…! Terdengar  isak tangis Salma dari balik gagang telpon.

“kenapa kamu menangis…?”, tanyaku kepadanya, penasaran.

Sebenarnya saya agak bingung, karena secara tiba-tiba Salma menangis tanpa ada sebab yang tidak  aku mengerti.

“Kok kamu tega San, kepada saya”, kata Salam dengan suara tersendat-sendat.

Masih dalam keadaan bingung, aku menjawab “ tega bagaimana ?”. kata-kata Salma tadi semakin membuat aku tidak mengerti.

“salah aku apa ?”, tanyaku lagi kepadanya.

“Kenapa kamu tidak pernah berterus terang kepada saya kalo kamu itu suka sama Marwah adik sepupuku. Mendengar jawaban itu, tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Aku seperti ditimpa oleh batu yang sangat besar. Tidak kusangka penyebab Salma menangis hanya karena rasa cemburunya terhadap Marwah.

Marwah, sepupu Salma yang juga telah lama aku kenal. Aku dan dia memang sering bercanda dengan lemparan-lemparan batu kecil darinya. Rumahnya tepat berada didepan gedung yang aku tinggali. Kamarnya berada lebih tinggi satu tingkat dari kamarku. Dia selalu melempar batu kerikil tepat di balkona pintu kamarku. Mungkin sebagai isyarat untuk memberi tahu kehadirannya.  Senyumnya, tawanya dari kejauhan selalu menampakkan keceriaannya di sore hari. Kehadirannya laksana bidadari sore yang selalu turun untuk menemani soreku.

Emang terkadang terlihat lucu ketika mengobrol dengannya. Hanya dengan obrolan jarak jauh yang menggunakan secarik kertas yang kami tulis dengan spidol pewarna lalu kami menuliskan kata-kata apa yang ingin kami katakan lewat kertas itu. Kemudian silih berganti memperlihatkan tulisan percakapan yang ada di kertas itu.


***
Keesokan harinya, dikala senja Azhar Park mulai mendekata warna kemerahannya. Seperti perjanjian yang telah saya sepakati antara Salma dan Marwah. Untuk bertemu  di Azhar Park salah satu taman terindah yang ada di kota kairo. Tempatnya yang sejuk dan lokasi yang menanjak seperti gunung menambah panorama ke indahan taman itu. Di Azhar Park juga, kita bisa menikmati pemandangan sunset di sore hari, dan dari situpulalah kita bisa menyaksikan gedung-gedung tinggi yang ada di Tahrir jantung kota Cairo.  Serta barisan bangunan-bangunan tua yang ada di Mesir. Semua dapat kita nikmati di Azhar Park.

“Assalamu alaikum”, suara itu mengagetkanku dari belakang.

“Walaikum salam”, jawabku sambil menoleh

Ternyata Salma dan Marwah, kedatangan keduanya sempat membuatku terkesima, Marwah yang selama ini aku kenal hanya lewat senyuman manisnya dari balik jendela kamarnya baru kali ini bisa bertatap muka secara langsung.

Dan ternyata julukan titisan Cleopatra juga pantas kuberikan padanya. Hidungnya yang mancung serta cara berpakaian yang sopan, memancarkan aura kecantikan Ratu Cleopatra yang seakan-akan menjadikan legenda Ratu kecantikan Mesir hidup kembali. “Astagfirullah, gumanku dalam hati”.

“kita ngobrol disana yuk, dibawah pohon itu”, kataku sambil menunjuk sebuah pohon yang tumbuh dengan rindang.

Salma dan Marwah hanya mengangguk tanda setuju, dan kami bertiga  berjalan kearah pohon itu. Aku berjalan lebih dulu kedepan kemudian diikuti oleh keduanya. Sesampainya dibawah pohon kami bertiga duduk menghadap kearah sunset yang sedikit demi sedikit akan meninggalkan langit ufuk barat.

Suasana senja di Azhar Park nan indah, menambah sebuah keromantisan untuk para muda-mudi yang ingin memadu cinta ditempat ini. Suara-suara burung pun ikut meramaikan suasana di Azhar Park. Sejenak kami bertiga terdiam membisu, aku sendiri bingung harus memulai dari mana untuk mengobrol kepada Salma dan Marwah. Begitupula sebaliknya, keduanya seakan-akan menunggu kata-kata dariku.

“Hmmm…hana’mil eeh diawa’ty  ( kita ngapain sekarang )“, tiba-tiba suara Salma memecah kebisuan kami.

“Ya Salma…, Ya Marwah…, jadi begini, saya mengajak kalian kesini untuk menjelaskan sebuah kesalah pahaman diantara kita”, jawabku.

Salma dan Marwah saling berpandangan, keduanya keliatan bingung dan belum menangkap maksud saya.

“Salma masih ingat kan kejadian kemarin, ketika kita ngobrol di telpon”, tanyaku kepadanya.

“Iya…”, jawab Salma sambil mengangguk. Marwah pun makin keliatan bingung tidak mengerti arah pembicaraan kami.

“Jadi begini, sudah lama kita saling mengenal namun sejauh ini saya hanya menganggap kalian  berdua adalah sahabat sejatiku, sahabat yang tidak akan aku lupakan  dan akan menjadi sebuah kenangan indahku, ketika aku kembali nanti ke Negaraku”, kataku dengan nada yang lebih serius.

Sejenak keduanya terdiam, ada sepintas kekecewaan terpancar dari wajah mereka. Terutama Salma, namun kekecewaan itu berusaha ia tutupi dengan senyuman indahnya.
Matahari senja perlahan-lahan mulai menghilang dari ufuk barat. Azan magrib pun terdengar secara serentak dari berbagai penjuru kota kairo.

“Balik yuk…!”, ajakku kepada mereka. Aku berdiri meninggalkan pohon tempat kami berteduh, diikuti oleh Salma dan Marwah. Sore itu, bersama dengan kepergian mentari senja, kami bertiga pun meninggalkan Azhar Park  yang akan selalu menjadi kenangan dan kisah persahabatanku dengan dua titisan Cleopatra yang pesonanya tidak akan pernah pudar dalam ingatanku, selamanya dan untuk selamanya.

Cairo, 5 Oktober 2010
[ 11.22 am ]
Augush El Bugiesy

Nb : neh cerpen sebenarnya dah lama aku tulis... tapi baru di posting skrang. dan cerpen ini adalah cerpen pertama yg aku tulis sejak pertama kali mengenal dunia tulis menulis. masih amburadul hehehe.. dan masih butuh banyak bimbingan... :D




 


               

               


7 comments:

Anonymous said...

gooss aguuss.. ini yang waktu itu yahh?
hhe, wktu itu cuma cuplikannya doang ==a

sekarang udah dapet cerita lengkapnyaa hihiyy, sukron :D

SangMusafir said...

iyaaa.... neh cerita lengkapnya... :D

Unknown said...

wah, saya baca sampe tuntas loh:)
ini cerpen pertama antum? wow, udah lumayan bgt, silakan berlatih lbh rajin lg yaa

makasih udah follow blogku:)
lam kenal

SangMusafir said...

hahahhaha Maya... :P

harus rajin berlatih lagi neh...biar bisa kayak Maya :D

salam kenal juga...ckckckckck

Husnul Khotimah said...

Ammm. . . Jadi begni ceritanya, sahbt jadi cinta, sering terjadi, dan cinta hanya cukup untk shbt juga tak jarang. Jadi pershbtn apa cinta, yg jelas salma dan marwah beruntng karena punya shbt sebijak hasan :D
sory kak, br bc hehe

SangMusafir said...

sahabat jadi cinta...by zigas :D

Anonymous said...

aku suka cerpennya.. :D

Post a Comment