Kenangan Cinta di Piramid

20 Sept 2010


Hey..hey…bangun Zal…!, seru Umar dan temen-teman lainnya sambil menepuk pundakku membuatku tersentak dan terbangun dari tidur.

“Ah… kalian ngagetin aja”, kataku dengan suara lirih masih dengan mata yang tertutup.  
“Ada apaan sih, pagi-pagi dah bangunin orang” tanyaku dengan suara setengah sadar disertai dengan perasaan jengkel.

“Kita mau ke Piramid, mau ikut nggak ?”. kata Ryan yang berdiri didepan pintu kamarku.

Keinginan untuk jalan-jalan ke wisata Piramid memang telah lama aku impikan. Maklum sudah empat tahun aku hidup di Pharaoh city ini, namun belum sekalipun aku berkunjung ke Piramid. Berbeda dengan temen-temenku yang lain. Baru seminggu menginjakkan kaki di Mesir, mereka sudah menyempatkan waktunya untuk berkunjung kesana. Bukan karena aku malas untuk jalan kesana, tapi banyaknya urusan dan kegiatan-kegiatan organisasi yang membuat niat ini selalu terhalang untuk jalan-jalan ke Piramid. Salah satu pusat wisata mesir yang selalu ramai dikunjungi oleh turis-turis asing dari berbagai mancanegara.

“Mau…mau…! Ngomong dong kalo mau jalan-jalan kesana”. Jawabku dengan penuh semangat seakan-akan rasa kantuk yang menjerat mataku hilang begitu saja saat temen-temanku menyebut nama PIRAMID.

“Kalo begitu tunggu ya, ane mandi dulu”. Dengan secepat kilat kusambar handuk kesayanganku dan menyerobot masuk kekamar mandi tanpa menghiraukan temen-temenku yang menertawakan tingkahku.


***

Tak lama kemudian, bus yang kami tumpangi melaju dengan cepat menembus kepadatan kota Cairo. Kebisingan terdengar dimana-mana. Aku menoleh keteman-temenku yang sudah terlelap oleh tidur. Aku sendiri tidak menyusul teman-temanku ke-alam mimpi, karena ingin menyaksikan kemegahan kota Cairo disiang hari.

“Ib’as…ib’as…! (bayar…bayar),”. Teriak sang kernet membuyarkan lamunanku.  Aku  menyodorkan beberapa lembar uang Pounds .

Khamsa tadzakir ya ‘Amm..( lima karcis ya ‘amm)”. Kataku sambil memberi isyarat dengan tanganku. Satu jam perjalanan yang melelahkan akhirnya tuntas. Sampailah kami digerbang El-Ahram Piramid.

“Wah besar banget ya Piramidnya”. Seru Hamzan dengan tak bosan-bosannya menatap bangunan berbentuk limas yang terlihat megah dengan puncak yang lancip menjulang tinggi keatas langit. Akupun tak bisa menyembunyikan rasa kekagumanku terhadap bangunan ini.

“Yukkk…kita beli karcis..”, ajakku kepada teman-temanku sambil melangkah keloket pembelian karcis di ikuti oleh ke-empat temanku.
“Ayizz khamsa tadzaakir… ( saya mau 5 karcis ) “, kataku sembari menyerahkan beberapa lembaran uang puluhan Pound kepada penjaga loket itu.


“Wah Rame banget ya Zal…pengunjungnya”. Seru Udin yang sangat menikmati pemandangan disekirtanya.
“Yee…dasar lo mata keranjang, maksud kamu bukan karena melihat banyak orang kan tapi karena turis-turisnya yang seksi-seksi”. Ujar  si Ryan meledek yang membuat wajah Udin memerah karena malu dan salah tingkah. 

Shubhanallah”,  gumanku dalam hati. Inilah Piramid, yang menjadi symbol dan sejarah peradaban Mesir kuno. Yang menurut sebagian temen-teman kalo belum menginjakkan kakinya disini berarti belum dianggap pernah ke Mesir.

***

Aku mulai beraksi dengan kamera poketku, memotret segala objek unik yang aku temui di area Piramid. Untuk kujadikan koleksi pribadi dalam gallery fhotografiku.

“What’s your name ?”. Suara lembut itu terdengar nyaman ditelingaku. Aku menoleh ke-arah datangnya suara itu. Aku sempat kaget karena ternyata suara itu berasal tiga gadis Mesir yang dari tadi memperhatikan tingkah laku kami selama berada di area Piramid.

Oops pardon, did you ask to me ?”. Jawabku masih dengan nada yang menyiratkan kekagetan, karena masih tidak percaya kalo hari ini bakalan bertemu tiga bidadari Mesir nan jelita.
Yes, I mean you…so what’s your name ?” Tanya gadis itu kembali.
Oh, my name is Rizal”. Jawabku dengan percaya diri yang berusaha kukumpulkan agak tidak terlihat kikuk didepan meraka.

Ternyata sejak memasuki area pyramid ini, kami menjadi  perhatian gadis-gadis Mesir yang waktu itu juga ikut melakukan liburan di area Piramid.

“wa inti, Ismak eeh…. ( Trus, nama kamu siapa )?”. Kataku balik bertanya kepada mereka.
Namun bukan jawaban yang terdengar dari mulut para gadis itu, melaikan tawa mereka yang membuatku sedikit salah tingkah. Hemmm…apa ada yang salah ya dengan pertanyaan saya. Gumanku dalam hati. Namun berusaha kusembunyikan dengan tersenyum ke arah meraka.

Bittkallim ‘araby…(kamu bisa ngomong bhasa arab ya ) ? ”. Timpal salah satu dari mereka.

Ternyata mereka tertawa bukan karena apa, tapi karena mereka tak menyangka kalo aku bisa berbahasa Mesir dengan baik dan fasih. Mungkin itu langka bagi mereka menemukan orang asing seperti kami.

Ismi Hebah…(namaku Hebah)”. Jawab gadis yang berkerudung cokelat.
Ana Noura…(aku Noura ) “.  Jawab gadis yang tingginya hampir sama dengan Hebah.
“Wa ana Syaima…(dan aku Syaima)”. Jawab gadis terakhir yang memilik paras paling cantik dibanding ke-dua temannya.

“Kamu berasal dari mana ?”. Tanya salah seorang diantara meraka.
“Saya dari Indonesia”. Jawabku pada mereka dengan sehalus mungkin

Ternyata hari ini hari keberuntunganku, karena tanpa direncanakan aku bisa berkenalan dengan tiga dara Mesir yang kesemuanya memiliki paras yang cantik. Setelah perkenalan singkat itu kami pun menjadi akrab seakan sudah lama saling mengenal.  Namun di antara ketiga gadis Mesir itu satu yang membuat hati ini gemetar dan selalu deg-degan ketika mataku dan matanya saling beradu pandang. 

Astagfirullah”, gumanku dalam hati. Apakah aku jatuh hati kepada gadis Mesir itu. Kucoba membuang perasaan itu. Perempuan yang membuat hatiku deg-degan adalah Syaima. Dialah yang memiliki paras paling cantik, dengan busana khas Mesirnya, hidung yang mancung, serta kulit yang putih bersih disertai dengan senyuman indah yang selalu terpancar di wajahnya membuat setiap orang  yang memandangnya terbuai.

***

Siang itu, udara sangat cerah membuat perjalananku  terasa begitu  menyenangkan. Rasa letih yang awalnya menjelajah di setiap persendian tubuhku hilang begitu saja. Seakan hilang di telan oleh serpihan angin Piramid. Kucoba beranikan diri untuk mengenal lebih jauh tentang diri Syaima.

“Syaima…tinggal dimana ?”. Tanyaku dengan penuh hati-hati kepadanya. aku takut jika pertnyaanku terlalu lancang untuk sebuah perkenalan yang baru saja berlangsung beberapa jam yang lalu.

Ana sakin fi Mathariyah… (aku tinggal di Mathariyah)”. Jawab Syaima sambil tersenyum ke arahku.
“Wah..tetangga dong…aku juga tinggal di sekitar daerah itu, tepatnya di Hadayek El-Qubbah “. Ucapku kepada Syaima sambil membalas senyumannya.

“Oh ya…kalo gitu, maen2 yah kerumahku nanti”. Kata Syaima dengan nada penuh keseriusan.

Sejenak kami terdiam, dan sesekali berhenti berjalan untuk menikmati pemandangan Piramid. Hening, hanya ada suara dari para penjaja miniatur-miniatur  yang terkadang datang menawarkan jualannya kepadaku. Waktu terus berlalu tidak terasa tiga jam mengobrol bersama Syaima terasa sangat begitu singkat. Sehingga tanpa terasa matahari pun mulai beranjak menuju ufuk barat, itu berarti tidak lama lagi daerah wisata pyramid akan ditutup.

“Rizaaal….yukk kita pulang….! “ teriak teman-temanku dari jauh.
“Eh, Syaima…jalan lagi yuk”. Ajakku kepadanya. Syaima hanya tersenyum dengan manis sambil mengangguk. Kami akhirnya beranjak menuju ke arah pintu gerbang tempat keluar dari area Piramid. Kebersamaan dengan Syaima walupun dengan waktu yang sangat singkat, namun menyisakan banyak kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.

***

Hari semakin sore, mentari senja pun perlahan-lahan mulai menghilang dari ufuk barat. Para pengunjung Piramid mulai dari kalangan turis dan orang-orang local berangsur-angsur meninggalkan tempat besejarah itu. Keceriaan dan rasa bahagia terpancar dari wajah-wajah mereka. Setelah menyaksikan kemegahan dan keunikan bangunan Piramid, Sphink serta  benda-benda peninggalan dari zaman Mesir kuno. Berbeda denganku, ada perasaan sedih yang menyelimuti hati ini. Karena dengan berakhirnya waktu untuk para pengunjung Piramid, itu berarti aku akan berpisah dengan Syaima.

Aku menoleh ke arah Syaima sambil tersenyum, sebuah senyuman yang sebenarnya sangat berat bagiku. Dia pun membalas senyuman itu. Tak ada kata dari mulut kami berdua, kami membisu. Aku menyadari bahwa apa yang aku rasakan sebenarnya juga dirasakan oleh Syaima. Keceriaan itu tidak tampak dari wajahnya, seakan tidak merelakan adanya perpisahan ini.

Ya Rizal, ana farhan awyy…bit’araf bik…(Zal…aku sangat senang bisa kenalan dengan kamu”. Kata Syaima sebelum berpisah denganku. Dia lalu menyodorkan secarik kertas yang bertuliskan nomer hp nya dan alamat lengkapnya.

“Aku juga…”. Jawabku dengan singkat.

Aku berdiri dan terdiam memandangi kepergian bus yang ditumpangi Syaima bersama teman-temannya yang berpalahan-lahan menghilang ditelan oleh kepadatan kota Giza. Kualihkan pandanganku  ke arah Piramid. Bayangan senyuman Syaima seakan masih terpancar di area Piramid, yang makin lama makin sepi ditinggalkan oleh pengunjungnya.

Aku beranjak dari tempat berdiriku, namun baru beberap langkah tiba-tiba dikagetkan oleh ringtone hp ditasku. Segera aku buka kotak pesannya, sebuah nama yang masih sangat segar dikepalaku “Syaima Mashriyah” (Syaima gadis Mesir). Lalu kubuka pesan itu, sebuah kalimat sederhana namun memiliki makna yang sangat berarti bagiku. 

Wallahi, ma thala’at syamsu wa la ghabat illa wadzikruka matrukun bi anfasii” ,( Demi Allah, tidaklah matahari itu terbit dan terbenam, kecuali ingatku akan dirimu melekat dalam jiwaku ). Itulah bunyi pesan dari Syaima.

Setelah membaca sms itu, aku merasakan sebuah perasaan bahagia yang tak terhingga. Segera aku berlari dengan penuh kegembiaraan menyusul teman-temanku yang telah jauh meninggalkanku.

“Woiiiwww…tungguin aku dong”. Teriakku dari jauhh.

Cairo, 20 September 2010
By Augush El Bugiesy

0 comments:

Post a Comment