Setetes Air Mata Tobat

8 Aug 2010



Setetes Air Mata Tobat
Oleh : Agus Nasir el-Bugizy


            Malam itu, aku berjalan menyusuri lorong gang-gang dan trotoar. Cahaya lampu yang remang-remang membuat aku leluasa berjalan dan terbebas dari incaran polisi. Setelah aku putus sekolah, pekerjaan ini telah menjadi hobi sehari-hariku, merampas, merampok, mencuri, memakai obat-obat terlarang, tawuran, dan sebagainya. Sudah menjadi ciri khasku disebuah trotoar daerah Nasr City, H10.
 Mungkin semua jenis kejahatan sudah pernah kulakukan bersama teman-temanku, kecuali memerkosa itu sih belum pernah kulakukan. Aku juga terkadang merasa heran kenapa kejahatan yang satu ini aku tidak berani melakukannya. Walaupun aku sering menjadi sasaran olok-olokan oleh teman-temanku.
"Ah…payah lo Mad, ! gak jantan…!" kata  teman-temanku dengan nada mengejek.
"Itu adalah surga dunia ", kata si Aiman dengan nada yang penuh semangat.  Seakan dengan sengaja memanas-manasiku.
"Hmm…jangan-jangan lo gak normal…". Timpal si Sayyid dengan nada mengejek.
Namun ucapan-ucapan itu aku anggap hanyalah sebagai angin lalu dan tetap terhadap pendirianku.


*****

Aku, Aiman, Sayyid, Mustafa, Abdu dan Mahmud. Adalah merupakan sebuah kelompok geng yang sering menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang melewati wilayah  kami di malam hari. Terutama bagi para mahasiswa asing dan pelajar yang berasal dari Asia. Suuk Sayyarat (Pasar Mobil), Jami, Saqar Quraisy adalah beberapa pangkalan yang sering menjadi lokasi operasi kami dimalam hari.
Sejak aku putus sekolah, hidupku sudah tak teratur lagi. Orang tua hanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak pernah sedikitpun meluangkan waktunya untuk berbagi dengan anak-anaknya, aku rindu kasih sayang, dan belaian seorang Ibu dan Ayah. Namun semua itu tak pernah aku rasakan, kehidupan keluargaku hancur, kehidupan keluargaku terasa hampa, barada didalam rumah bagai berada di dalam sebuah penjara. Setiap hari yang terdengar hanyalah pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Sejak kakak menikah dan ikut  suaminya ke Alexandria, perlakuan Ayah ke pada Ibu semakin kejam, Ibu pun tak pernah mau mengalah, aku hanya bisa menangis dan menangis tak tau mau berbuat apa, lari dari rumah…! Ah..pikiran itu terlintas dalam otakku…ya, mungkin itulah jalan satu-satunya untuk menghingdari rumah yang sudah tak layak di sebut sebagai "Rumahku syurgaku".



            Sejak itulah,  aku putuskan untuk kabur dari rumah. Karena tak ada lagi tempat berteduh bagiku, aku pun bergabung dengan kelompok geng yang ada di kotaku, memulai sebuah kehidupan yang penuh dengan liku-liku kejahatan, kehidupan yang penuh dengan kesenangan tapi sebenarnya sangat menyiksa dirik. Ughh…! aku bosan dengan kehidupanku, kehidupan yang tak pernah membuat aku tenang, setiap saat menjadi incaran para polisi.

*****
           
            "Mad, malam ini lo mesti siap-siap !  ada tawaran yang menggiurkan, ada langganan yang mesan sebanyak 5 kilo Hasyis ( semacam obat terlarang ), aku terdiam sejenak, namun desakan dari teman-temanku tidak bisa aku tolak. Karena akulah yang menjadi kepercayaan meraka.
            "Yaa udah, Lokasinya dimana...", tanyaku kepada mereka.
            "Di Suuk Sayyarat", Jawab Aiman dengan nada yang serius.
Malam itu, kami langsung bergerak ketempat  perjanjian dengan dipimpin olehku.
“Mad, ntar lo aja yang transaksi ma mereka, biar kita-kita yang berjaga”, kata sayyid dengan nada yang penuh semangat. Aku hanya mengangguk menanggapi perkataan Sayyid. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 malam, namun orang yang kami tunggu-tunggu juga belum datang.
“Jangan-jangan mereka menipu kita”, kata Mustafa dengan nada yang jengkel.
“Sabar dong, mereka pasti datang”, timpal si Abdu mencoba menenangkan pikiran si Mustafa. Memang, Mustafa merupakan orang yang paling gampang marah di antara kami, dia memiliki karakter yang tegas dan tidak suka dikhianati.
“Kalau mereka sampai nggak datang malam ini, akan kuhabisi meraka”, kata Mustafa yang mulai tidak sabar menunggu.

            “Hey, sudah lama nunggu ya…”, tiba-tiba suara itu mengagetkan kami. Lima orang  berkulit hitam muncul dari arah barat Suuk Sayyarat.
            “Kalian kenapa lama banget”, bentak Mustafa sambil memegang kerah baju orang hitam itu.
            “Kalian tau nggak ini jam berapa”, lanjut Mustafa dengan nada yang marah.
            “Halas ba’ah ya Mustafa, birraha…birrahaa…! Mustafa…! sudah…tenang…tenang…!”, kataku mencoba menenangkan Mustafa.
            Aku mendekati Albert salah satu kepercayaan meraka. Dan mengisyaratkan kepada yang lain untuk berjaga-jaga.
            “Mana uangnya”, tanyaku kepada albert. Kemudian Albert menyodorkan sebuah koper yang berisikan uang. Aku pun menyerahkan sebuah koper yang berisikan barang-barang terlarang.  Namun baru beberapa  saat setelah transaksi terjadi tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara tembakan.
Dor…dor…dor…!
Suara sirene mobil polisi memecah keheningan malam, tembakan tak henti-hentinya terdengar di lancarkan kepada kami.  
“Cepat lariiiiiiii… , ! ada polisi " terdengar teriakan Aiman.
Serentak teriakan Aiman membuat kami kaget, tanpa pikir panjang aku berlari secepat kilat menjauh dari sergapan para Polisi.
"Feen Aiman ?, dimana Aimana ?”, kataku dengan suara terengah-engah.
"Aiman ditangkap", jawab Sayyid sambil  tertunduk lesu.
 Mendengar kabar itu, kami semua terdiam. Ada perasaan bersalah yang menghiggapi jiwaku. Tanpa sadar aku membanting koper yang berisikan uang hasil transaksi kam. Sayyid mencoba menenangkan kegalauan hatiku.
Khalas ya Ahmad, yallah nemsyi ! udahlah Mad, mari kita tinggalkan tempat ini”. Kata Sayyid sambil memegang pundakku.
“Kalian pulang duluan, nanti aku menyusul”
“Tapi Mad…”
“Sudahlah…! Malam ini aku ingin sendiri”, jawabku dengan suara tertahan.

*****
Malam semakin larut, jam di ponselku telah menunjukkan pukul 04.30 lantunan azan shubuh pun mulai menggema di setiap penjuru kota kairo. Kucoba melangkahkan kakiku menyusuri lorong-lorong Gami’ yang masih lengang oleh orang-orang yang lalu lalang. Kuhentikan langkahku tepat di depan bangunan merah, sebuah bangunan merah yang tidak asing lagi bagiku, masjid Abu Bakr itulah nama bangunan itu. Bagunan yang selama ini hanya aku lalui dan tidak pernah sekalipun aku masuk kedalamnya. Namun entah kenapa saat ini, tiba-tiba ada dorongan yang begitu kuat untuk masuk kedalam Masjid itu.
Ya Allah…! Pekikku dalam hati, tiba-tiba kalimat itu terucap tanpa aku sadari. Nama yang selama ini tak pernah sedikitpun aku menyebutnya. Hatiku bergetar, ada perasaan takut yang menyelimuti jiwa ini. Kucoba melawan rasa takut itu sembari melangkahkan kakiku masuk ke dalam Masjid. Tiba-tiba air mataku tumpah tanpa aku sadari, sebuah penyesalan yang tak terhingga, tercampur dengan rasa bahagia yang tidak pernah aku rasakan selama ini. Ya Allah, ampuni hambamu ini…!


Cairo, 8-08-2010







0 comments:

Post a Comment